berita tentang adanya pengungsi Rohingya
di antara imigran gelap yang tertangkap di Ciamis, Jawa Barat (Kompas,
31 Juli 2012). Rasa empati timbul manakala mendengar kabar bahwa etnis Rohingya
yang beragama Islam itu mengungsi karena menjadi sasaran pembersihan etnis di
Myanmar. Situasi bertambah runyam ketika melalui media sosial, khususnya Facebook,
kita mendapatkan foto-foto yang diklaim sebagai korban pembersihan etnis
Rohingya di Myanmar. Apakah benar ada pembersihan etnis Rohingya di Myanmar?
Kelihatannya kita perlu mengecek kembali kebenaran berita itu.
Masih cukup banyak di antara kita yang
tak mengetahui secara jelas mengenai siapa sebenarnya etnis Rohingya itu.
Bagaimana asal-usul keberadaan etnis yang -oleh PPB disebut- paling
ditelantarkan di dunia? Mengapa mereka yang mayoritas beragama Islam itu
tinggal di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Buddha? Tulisan singkat
ini mencoba menyoroti Rohingya dari sudut pandang kesejarahan.
Ingar-bingar berita tentang Muslim
Rohingya timbul menyusul konflik sektarian yang terjadi antara etnis Rohingya
yang sebagian besara dalah Muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas merupakan
penganut Buddha. Penyebab konflik itu sendiri tak begitu jelas. Namun, beberapa
sumber menyebutkan bahwa kerusuhan itu merupakan buntut peristiwa perampokan
dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28 Mei
2012. Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan dan memenjarakan 3 orang
tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya adalah etnis Rohingya. Namun,
tindakan itu ternyata tak cukup mencegah terjadinya kerusuhan di negara bagian
Rakhine yang terletak di bagian barat Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni, terjadi
penyerangan terhadap bus yang diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan
kerabatnya. Tercatat 10 orang Muslim Rohingya tewas. Sejak itu, kerusuhan
rasial di Rakhine pun meluas.
Sebenarnya konflik antara etnis Rohingya
dan Rakhine kerap terjadi sejak puluhan tahun silam. Apa sebenarnya akar
masalahnya? Salah satu akar konflik menahun itu adalah status etnis minoritas
Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar tak
mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat
tiadanya kewarganegaraan, etnis Rohingya tak bisa mengakses pendidikan, layanan
kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak. Mereka betul-betul terabaikan dan
terpinggirkan.
Pemerintah Myanmar tak mengakui
kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan
merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar
pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al
Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan
kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari
Bangladesh itu.
Akar konflik yang lain adalah adanya
kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi etnis Muslim Rohingya dalam
beberapa dasawarsa ini terus meningkat. Tentu saja, hal ini menyebabkan
kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka,
keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap kerikil dalam sepatu,
yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya dianggap
mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine
yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini.
Sejatinya Rohingya tidak tepat disebut
“etnis” karena kata itu merupakan label politis yang digunakan untuk
memperjuangkan keberadaan kelompok tersebut di Myanmar. Beberapa sejarawan
Myanmar mengatakan bahwa nama Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an, setelah
kemerdekaan Myanmar. Lalu, siapa sebenarnya mereka?
Dalam catatan PBB, Rohingya hanya
disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari
sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya
termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabatb ahasa Indo-Arya.
Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa
Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh.
Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal,
Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi, jelas bahwa kelompok etnis Rohingya
merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal
di Bangladesh tenggara.
Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan
sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U,
khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430-1434). Setelah dibuang ke Bengal,
Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal.
Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal
kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari
Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine. Karena
kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke
Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, sampai saat ini pula,
kebanyakan orang Rohingya bekerja di sector agraris.
Ketika Inggris melakukan sensus penduduk
pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu
terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India,
sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pulalah
mulai timbul konflik dengan penduduk local yang mayoritas merupakan penganut
Buddha. Bertambahnya jumlah penduduk migrant membuat penduduk lokal khawatir.
Istilah Rohingya, Kapan Muncul?
Lalu, benarkah istilah Rohingya baru
muncul pada tahun 1950-an? Sejarawan Jacques P. Leider mengatakan bahwa pada
abad ke-18 ada catatan seorang Inggris yang bernama Francis Buchanan-Hamilton
yang sudah menyebutkan adanya masyarakat Muslim di Arakan. Mereka menyebut diri
mereka “Rooinga”. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata "rahma" (rahmat)
dalam bahasa Arab atau "rogha" (perdamaian) dalam
bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah Ruhadi
Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohingya.
Dengan demikian, lepas dari apakah Rohingya
merupakan sebuah etnis atau tidak, dan apakah termasuk ke dalam etnisitas
Myanmar atau tidak? Sudah jelas bahwa Rohingya merupakan komunitas migrant dari
Bangladesh yang sudah ratusan tahun tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar.
Sebagai komunitas yang sudah lama menetap di sebuah wilayah yang kebetulan kini
menjadi bagian dari negara Myanmar, tentu saja sudah selayaknya mereka
mendapatkan hak-hak dasar mereka, terutama status kewarganegaraan. Meskipun
demikian, sikap pemerintah Myanmar sudah jelas seperti yang disampaikan Thein
Sein bahwa Myanmar tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya.
Namun, Myanmar menawarkan solusi berupa pengiriman ribuan orang Rohingya ke
negara lain atau tetap tinggal di Arakan, tetapi berada di bawah pengawasan PBB.
Jadi, kelihatannya etnis Rohingya masih belum bisa bernapas lega sampai
beberapa tahun mendatang.
* Fakultas Ilmu Pengetahuan &
Budaya, Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
siapa saja yg punya usul agar blog ini lebih baik lagi.