Asal usul Suku Banjar

Suku Banjar
Bahasa
Banjar, Indonesia, Melayu, dan lain-lain.
Agama
Islam.
Kelompok etnis terdekat
Melayu, Kutai, Jawa, Dayak ( Bukit, Bakumpai, Ngaju, Maanyan, Lawangan, )
Profil pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.


Sukubangsa Banjar [1]adalah suku bangsa yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, dan sejak abad ke-17 mulai menempati sebagian
Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur terutama kawasan dataran dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut. Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yaitu wilayah inti dari Kesultanan Banjar meliputi DAS Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan DAS Tabanio. Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.


Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah : Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya dengan budaya madam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau.


Menurut Alfani Daud (1997), suku bangsa Banjar adalah suku asli sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, kecuali di Kabupaten Kota Baru.


Asal usul suku Banjar


Suku bangsa Banjar diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).


Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami sekitar Banjarmasin (dan Martapura).


Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya-, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa.


Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu-sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.

Masjid-Kampung Banjar Semarang

Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara
[sunting] Banjar Pahuluan


Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur.


Jadi meskipun kelompok suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri.


Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya.


Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya
[2]
[sunting] Banjar Batang Banyu


Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbetuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah.


Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar.


Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
[2]
[sunting] Banjar Kuala


Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan, bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar.


Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju , yang seperti halnya dengan dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan , banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam.


Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
[2]
[sunting] Inti Suku Banjar


Menurut Alfani Daud (1997), inti suku Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya,[2] sedangkan menurut Idwar Saleh justru penduduk asli suku Dayak (yang kemudian bercampur membentuk kesatuan politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya).


Menurut M. Idwar Saleh (1986) [3] " Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton....Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan-etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya".


Selanjutnya menurut Idwar Saleh (makalah Perang Banjar 1859-1865, 1991): "Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia".


Menurut Tim Haeda dalam Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius (2009: 76), secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks.


Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Suku Banjar terbagi 3 subetnis berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfeketif kultural dan genetis yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:


   1. Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok)
   2. Banjar Batangbanyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok)
   3. Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok)


Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
[sunting] Agama Islam dan suku Banjar


Menurut Alfani Daud (1997:6):[2]
"Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar."


Menurut Irfan Noor dalam "Islam dan Universum simbolik Urang Banjar" bahwa : Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Selanjutnya menurutnya : Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titiuk berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Menurutnya pula : "Banjar" sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.
[sunting] Suku Banjar di Kalimantan Timur


Suku Banjar (Banjar Samarinda) di Kalimantan Timur sering disebut juga suku Melayu, merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai, maupun suku Dayak setempat. Beberapa kecamatan yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan, Kutai Kartanegara dan Jempang, Kutai Barat, Samarinda Barat, Samarinda Timur (Samarinda), Balikpapan, Tarakan dan di muara sungai Kelay, Berau.


Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565 yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayahanda Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas (Kesultanan Pasir) di daerah Pasir, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).
[sunting] Suku Banjar di Kalimantan Tengah


Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut "Banjar Melayu Pantai" atau "Banjar Dayak", maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Suku Banjar merupakan 25 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalteng dibanding suku Dayak Ngaju, suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak Sampit dan lain-lain. Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya, Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan, Seruyan misalnya desa Tanjungrangas dan Pematangpanjang.


Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengijinkan berdirinya Kesultanan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama [[Pangeran Adipati Antakusuma.


Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha), kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.


Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.
[sunting] Suku Banjar di Jawa Tengah
Masjid-Kampung Banjar Semarang
Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara


Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa, jadi tidak sebanyak di Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta. Di Semarang suku Banjar (dahulu) kebanyakan bermukim di Kampung Banjar di Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang. Dahulu kampung ini merupakan wilayah kelurahan Banjarsari, Kecamatan Semarang Tengah yang telah dilikuidasi karenanya adanya penataan wilayah administrasif kota Semarang. Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan kampung Melayu (Eks Kelurahan Mlayu Darat yang telah dilikuidasi). Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan suku lainnya seperti suku Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini , mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) seperti di daerah asalnya, tetapi sayang kebayakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut. Sedangkan di Surakarta suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai.
[sunting] Suku Banjar di Sumatera dan Malaysia


Suku Banjar yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak/Paluh Kurau, Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar. Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi hukuman mati. Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar. Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan Belanda.


Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa, raja Indragiri sebelum raja yang terakhir. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura, Banjar yang menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.


Keadaan mayarakat Kalimantan Selatan antara tahun 1900-1942 :
Pada tahun 1905 perlawanan terakhir para gusti (gelar bangsawan Banjar) ditumpas, tetapi sisa-sisanya masih mengadakan perlawanan kecil-kecilan yang cukup membahayakan Belanda. Kerja rodi (bahasa Banjar : erakan) dan pajak kepala yang dianggap sangat memberatkan, mengakibatkan dalam periode ini banyak sekali orang Banjar terutama dari Hulu Sungai mengungsi keluar Kalimantan Selatan pergi ke Sumatera dan Malaysia Barat. Terhadap tekanan rodi menimbulkan keresahan sosial dan perlawanan dari anak cucu orang sepuluh Amuntai, pemberontakan Nanang Sanusi (1914-1918), dan pemberontakan Gusti Barmawi di Kelua, Tabalong. Antara tahun 1914-1919 akibat perang dunia I, Kalimantan Selatan kekurangan beras yang luar biasa, hingga terkenal dengan nama "zaman beras larang" dan "zaman antri beras", hidup rakyat menjadi sangat susah sekali. Sejak tahun 1920-an, akibat rodi ini telah pindah banyak sekali penduduk Hulu Sungai ke daerah Sapat dan Tembilahan, Indragiri Hilir, di pantai timur Sumatera dan Malaysia. Kejengkelan rakyat terhadap segala pajak, landrente, pajak pasar, pajak yang dikenakan pada orang yang naik haji, dan kerja rodi (bahasa Banjar : erakan) pada masa itu juga telah diajukan keberatan-keberatan melalui organisasi Sarekat Islam maupun organisasi lainnya yang ada di daerah ini. Rakyat mengetahui bahwa otonomi dalam bentuk Gemeente raad yang diberikan pemerintah kolonial hanyalah untuk kepentingan orang-orang kulit putih semata. Dalam bidang pendidikan dirasakan tekanan-tekanan politik terhadap sekolah-sekolah swasta seperti Taman Siswa dan sejenisnya. Dalam bidang politik, partai-partai non koperasi atau bukan keduanya mengalami tekanan yang berat sehingga partai-partai non koperasi menjadi lumpuh. Demikian pula partai-partai penggantinya yang bersifat koperasi seperti Parindra dan Gerindo juga mengalami berbagai tekanan seperti yang dialami tokoh Parindra Kalsel, Ahmad Barmawi Thaib dan Hadhariyah M


Banyak suku Banjar juga bermigrasi ke Malaysia antara lain ke negeri Kedah, Perak ( Kerian, Sungai Manik, Bagan Datoh), Selangor(Sabak Bernam, Tanjung Karang), Johor(Batu Pahat) dan juga negeri Sabah (Sandakan, Tenom, Keningau, Tawau) yang disebut Banjar Melau. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari Malaysia adalah Syekh Husein Kedah Al Banjari, mufti Kerajaan Kedah. Salah satu etnis tokoh Banjar dari Malaysia yang terkenal saat ini adalah Dato Seri (DR) Harussani bin Haji Zakaria yang menjadi Mufti Kerajaan Negeri Perak. Daerah (setingkat kabupaten) yang paling banyak terdapat etnis Banjar di Malaysia adalah Daerah Kerian di Negeri Perak Darul Ridzuan. Organisasi suku Banjar di Malaysia adalah Pertubuhan Banjar Malaysia.
[sunting] Islam Banjar


Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri (Tim Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.


Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar. Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.


Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.
[sunting] Populasi suku Banjar


Suku Banjar merupakan suku ke-8 terbanyak di Indonesia Menurut sensus BPS tahun 2000 populasi suku Banjar diperkirakan sebagai berikut:


    * 2.271.586 di Provinsi Kalimantan Selatan 76,34%
    * 435.758 di Provinsi Kalimantan Tengah 24,20%
    * 340.381 di Provinsi Kalimantan Timur 13,94%
    * 179.380 di Provinsi Riau 3,78%
    * 111.886 di Provinsi Sumatera Utara 0,97%
    * 83.458 di Provinsi Jambi 3,47%
    * 24.117 di Provinsi Kalimantan Barat
    * 7.977 di Provinsi DKI Jakarta
    * 5.923 di Provinsi Jawa Barat
    * 1.726 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 0,1%
    * 921 di Provinsi Sumatera Selatan
    * dan lain-lain


Menurut situs "Joshua Project" jumlah suku Banjar adalah


    * 3.207.000 di Indonesia
    * 1.238.000 di Malaysia


[sunting] Populasi Suku Banjar di Kalimantan Selatan


Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Banjar di Kalimantan Selatan berjumlah 2.271.586 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :


    * 142.731 jiwa di kabupaten Tanah Laut
    * 154.399 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk kab. Tanah Bumbu)
    * 361.692 jiwa di kabupaten Banjar
    * 184.180 jiwa di kabupaten Barito Kuala
    * 417.309 jiwa di kota Banjarmasin
    * 75.537 jiwa di kota Banjarbaru


Orang Banjar Hulu Sungai yang bertutur Bahasa Banjar Hulu terdapat pada 6 kabupaten (Banua Enam) yaitu :


    * 114.265 jiwa di kabupaten Tapin
    * 188.672 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan
    * 213.725 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah
    * 277.729 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk kab. Balangan)
    * 141.347 jiwa di kabupaten Tabalong


[sunting] Tokoh-tokoh Banjar (Rumpun Banjar)


    * Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama Banjar.
    * Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, ulama Banjar.
    * Muhammad Zaini Abdul Ghani, ulama dan tokoh Islam Indonesia.
    * Hasan Basry, Pahlawan Nasional Indonesia.
    * Pangeran Antasari, Pahlawan Nasional Indonesia.
    * Pangeran Hidayatullah, Pahlawan Perang Banjar.
    * Pangeran Muhammad Noor, mantan menteri PU/Gubernur Kalimantan ke-1
    * Idham Chalid, mantan Ketua MPR RI/Wakil Perdana Menteri.
    * K.H. Muhammad Arifin Ilham, Ketua Majelis Zikra.
    * KH Muhammad Thoha Ma’ruf, Tokoh NU
    * Drs. Saadillah Mursjid, MPA, Menteri Sekretaris Kabinet Pembangunan VII
    * Djohan Effendi, Menteri Sekretaris Kabinet era Gus Dur, penulis pidato Presiden Soeharto.
    * Syamsul Mu'arif, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Kabinet Gotong Royong
    * Taufiq Effendi, menteri PAN
    * Prof. M. Hatta, menteri Lingkungan Hidup Kabinet Jilid II
    * Fakhruddin, politisi dan mantan Bupati HSU


Baca Juga : Persaudaraan Banjar dan dayak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa saja yg punya usul agar blog ini lebih baik lagi.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...